BANDA ACEH - Hasil penelitian yang dilakukan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan, sekitar 62 persen
desa-desa di Aceh rentan terhadap perubahan iklim. Karena itu,
pemerintah perlu meningkatkan pemahaman masyarakat untuk menjaga
lingkungan serta meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Demikian disampaikan Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Sumber Daya
Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr Ir Agus Justianto
MSc, saat menjadi pembicara kunci pada acara Seminar Internasional, Aceh
Commitment for Climate Change Impact and Challengge, yang dilaksanakan
Bapedal Aceh, di Hotel Hermes, Banda Aceh, Kamis (26/5).
Agus memaparkan dampak yang dialami oleh desa-desa yang rentan
perubahan iklim ini. Misalnya, desa di kawasan pegunungan yang hutannya
banyak sudah ditebang, akan sering mengalami hujan di atas normal.
Sedangkan jika berada di wilayah pesisir atau dekat laut, desa itu
sering terkena musim kemarau yang lebih panjang, hingga membuat tanaman
pertanian seperti padi menjadi fuso dan tidak bisa dipanen.
Ia menyebutkan contoh wilayah yang masuk kategori rentan perubahan
iklim yang berdampak pada bencana banjir bandang, tanah longsor dan
lainnya, adalah wilayah Tangse dan Geumpang (Pidie), serta Beutong Ateuh
dan Singgah Mata (Nagan Raya). Daerah ini sering kali terkena bencana
banjir bandang, karena populasi tanaman pohon besar di atas gunung dan
perbukitannya, sudah berkurang.
Begitu juga untuk daerah perbukitan di wilayah Gayo yang sering kali
terjadi tanah longsor. Hal ini disebabkan jumlah volume dan frekuensi
hujan sudah berada jauh di atas normalnya.
Sedangkan contoh wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim yang
bisa menyebabkan kekeringan, berada di wilayah pesisir pantai
timur-utara sampai pesisir Pidie Jaya, Pidie, Aceh Besar, dan Aceh Jaya.
Pada saat musim kemarau, suhu udara di daerah itu bisa mencapai di atas
35 derajat celsius atau lebih.
Masa kemarau yang panjang akan berdampak buruk bagi petani padi dan petambak udang.
Oleh karena itu, kata Agus Justianto, pemerintah perlu
mengintegrasi rencana aksi adaptasi ke dalam rencana pembangunan dan
implementasi di daerah, serta peningkatan kapasitas masyarakat melalui
kampung iklim. “Ini sangat penting dilakukan untuk peningkatan ketahanan
terhadap perubahan iklim tersebut,” ujarnya.
Sementara Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah mengatakan, apa yang
dirasakan masyarakat Aceh dalam beberapa hari terakhir, merupakan bagian
dari dampak pemanasan global yang telah mengakibatkan perubahan iklim
secara global.
“Masa kemarau dan penghujan di Aceh sudah bergeser, tidak lagi
seperti dulu, di mana musim hujan terjadi pada bulan September-Desember.
Sekarang, bulan Mei sudah hujan, seperti yang terjadi dalam sepekan
ini. Badai dan hujan deras melanda di sejumlah wilayah di Aceh, sehingga
mengganggu aktivitas mayarakat, termasuk pelayaran ke daerah
kepulauan,” ujarnya.
Namun begitu, kata Gubernur Zaini, Aceh masih memberikan peran
besarnya terhadap penurunan emisi rumah kaca, karena luas areal hutannya
masih sekitar 65 persen dari total luas wilayah 5,7 juta hektare.
Gubernur juga menyampaikan Aceh masih membutuhkan investor untuk
meningkatkan peranan dalam rangka menurunkan emisi rumah kaca.
“Misalnya dengan memprogramkan pembangunan PLTMH, PLTA, panas bumi,
dan lainnya, untuk mengurangi pembangkit tenaga diesel dan batubara,
yang dapat menimbulkan asap dan pemanasan global,” ujarnya.
Kepala Bapedal Aceh, Ir Iskandar MSc mengatakan, seminar
internasional ini dilaksanakan untuk memberitahukan kepada masyarakat
dunia, bahwa Pemerintah Aceh sangat komit untuk mengurangi pemanasan dan
perubahan iklim global.
Adapun aksi nyata dan kegiatan yang dilakukan segera adalah membangun
“Gampong Iklim” di sejumlah daerah, seperti di Sabang, Aceh Besar, dan
Kota Banda Aceh, dengan cara melakukan penanaman tanaman hijau di
wilayah terbuka. Misalnya di daerah pesisir pantai menanam pohon bakau,
pinus laut, kelapa, dan lainnya.
sumber : http://aceh.tribunnews.com/2016/05/27/62-persen-desa-di-aceh-rentan-perubahan-iklim?page=1